Judul Cerpen: Ketika Doa Ibu Menembus Langit
Cerpen Karangan: Muhammad Haikal
Kategori: Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 18 September 2016
Terik matahari menyinari kampung itu.
Allahu Akbar, Allahu Akbar… Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Siang itu, terdengar naungan suara Adzan Dzuhur.
Terlihat sebuah rumah yang bangunannya tidak terlalu besar. Seorang bocah yang penampilannya berantakan dengan pakaian sekolah, memasuki rumah itu. Dia adalah Yunus, bocah berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP.
“Bu… Aku pulang…” Ucap Yunus.
“Iya nak, Wa’alaikumussalam…” Jawab Ibu Aisyah. Ibunya Yunus.
“…” Yunus hanya diam sembari melepas kedua sepatunya.
Lalu Yunus memasuki kamar Ibunya. Terlihat Ibunya sedang duduk menangis setelah menunaikan Shalat Dzuhur. Dan Yunus ikut duduk di samping Ibunya.
“Bu, kenapa nangis?”
“…” Ibu Aisyah hanya diam sembari membasuh air matanya.
“Ada makanan gak? Aku belum makan nih.” Tanya Yunus.
“Sabar ya nak, abis ini… Ibu mau jual lemari kecil itu dulu untuk kita makan.” Jelas Ibu Aisyah.
“… Sore?”
“InsyaAllah… Sabar ya nak, soalnya udah satu bulan ini Ayah kamu pergi tanpa kabar.”
“Apa dia pergi ninggalin kita berdua?”
“Sssttt, gak boleh ngomong gitu… Ayah kamu pasti lagi cari uang untuk kita.” Jelas Ibu Aisyah yang mencoba menutupi aib suaminya dari buah hatinya.
“Iya…”
Hari itu pun berlalu, dan keesokan harinya pun tiba.
Ashalaatu Khairum Minannauum… Ashalaatu Khairum Minannauum…!
Terdengar Adzan Subuh di kampung itu. Yunus terbangun dari lelap tidurnya, ia berjalan perlahan dan membuka jendela kamarnya. Matanya menatap keluar jendela, melihat orang-orang berdatangan ke Masjid untuk menunaikan Shalat Subuh. Dari orangtua, remaja, hingga anak-anak pun berjalan menuju Masjid.
Tanpa disadari air matanya Yunus jatuh. Dan ia pun segera membasuhnya dan segera ke luar dari kamarnya. Dan kini ia duduk di teras rumahnya. Menatap langit dan mengingat Sang Pencipta.
Namun di benaknya Yunus berkata, “Ya Allah… apa yang harus aku lakukan untuk membahagiakan Ibu?”
Beberapa menit kemudian, terdengar Ibu Aisyah melantunkan Ayat Suci (QS. Hud). Kemudian Yunus mendengarkannya ayat demi ayat, mencoba merasakan getar tubuhnya dan merdu suara Ibunda nya. Perlahan Ibu Aisyah melantunkannya sembari menangis, dan Yunus pun ikut menangis.
Seusai Ibu Aisyah melantunkannya, Yunus segera memasuki kamar Ibunya dan ikut duduk bersama Ibunya.
“Bu… Ibu bacanya sambil nangis, suara Ibu juga merdu banget… Aku sampai ikut nangis gini. Kasih tau dong, yang tadi Ibu baca itu Surat apa namanya?” Tanya Yunus.
Ibu Aisyah pun tersenyum penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah… Yang tadi Ibu baca itu Surat Hud (Nabi Hud), emangnya kenapa?”
“Enggak sih… Gak tau kenapa badan aku gemetar aja pas denger Ibu baca itu tadi, kira-kira yang awalnya yang bacaannya “Wa anistaghfiruu… Emm, pokoknya yang kayak gitu deh.” Jelas Yunus.
“Oh, yang ini… “Wa-aniistaghfiruu rabbakum tsumma tuubuu ilaihi yumatti’kum mataa’an hasanan ilaa ajalin musamman wayu’ti kulla dzii fadhlin fadhlahu wa-in tawallau fa-innii akhaafu ‘alaikum ‘adzaaba yaumin kabiirin. Ilallahi marji’ukum wahuwa ‘ala kulli syai-in qadiirun.” Itu Surat Hud ayat 3 sampai dengan 4.” Ibu Aisyah melantunkan dan menjelaskannya.
“…” Yunus hanya terdiam mendengarkannya.
“Mau tau artinya?” Tanya Ibu Aisyah.
“Apa tuh?”
“Disini tertulis… “Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu serta bertobat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh, aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat). Kepada Allah-lah kamu kembali. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Hud :3-4)” Gitu artinya…” Jelas Ibu Aisyah.
“Oh gitu… Ya udah deh.” Jawab Yunus singkat.
Lalu Yunus peranjak kembali ke kamarnya meninggalkan Ibunya.
Ibu Aisyah hanya menatap langkah kaki Yunus, dan mengingat apa yang dulu pernah dikatakan oleh Kakeknya Yunus… “Lihat dia Aisyah… Walau tak banyak bicara tapi anakmu itu cerdik. Bapak selalu memperhatikan saat dia bermain. Dia selalu memberi solusi dan kawan-kawannya selalu menyetujuinya. Hai Aisyah, didik dia sebaik mungkin. Ada penyair berkata, “Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa didapatkannya dari orangtuanya. Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.” Gimana, ngerti?” Lalu di benaknya berkata, “Iya Pak, aku akan berusaha. InsyaAllah.”
Waktu keberangkatan sekolah Yunus telah tiba.
Terlihat Yunus sedang mengikat tali sepatunya.
“Yun…?” Panggil Ibu Aisyah dari dalam kamar.
“Ih, Ibu… jangan panggil aku ‘Yun’ dong… kayak nama Cewek tau.” Ucap Yunus.
“Hahaha, iya maaf-maaf… tolong kesini sebentar.”
Lalu Yunus menghampirinya.
“Ya, kenapa?”
“Nih, Ibu punya sedikit uang hasil jual lemari kemarin. Kamu bisa beli nasi di kantin sekolah.” Jelas Ibu Aisyah sembari menyodorkan uang senilai 5000 Rupiah.
“Kasih aku 2000 aja bu, 3000 nya untuk Ibu beli makan siang.”
“Gak usah nak, Ibu masih punya uang simpanan yang cukup untuk makan siang kita.” Jelas Ibu Aisyah.
“Ya… Makasih, Ya udah ya… Aku berangkat dulu.” Ujar Yunus.
Yunus pun berangkat ke sekolah. Namun tujuan utamanya bukan untuk kesekolah, tetapi ke arah ruko tempat orang-orang berjualan. Yunus mampir di sebuah Masjid. Ia masuk kedalam toilet, dan di dalam toilet itu ia melepas seragam sekolahnya, menggantinya dengan pakaian yang biasa ia pakai. Kini ia menghampiri tiap toko satu-persatu. Meminta pekerjaan untuknya. Apapun pekerjaannya akan ia lakukan yang penting Halal, demi membahagiakan Ibunda tercinta. Begitu pikirnya.
Setiap toko ia datangi dan memohon, namun tak ada yang ingin menerimanya. Tepat di hadapannya, sebuah Rumah Makan. Namun ia mengurungkan niatnya untuk meminta pekerjaan di tempat itu. Karna tak mungkin Rumah Makan itu menerimanya untuk bekerja. Begitu pikirnya.
Pandangan Yunus tertuju pada sebuah kotak amal yang ada tepat di samping pintu masuk Rumah Makan itu. Yunus terus memerhatikan kotak itu dari seberang. Dan terlintas di pikirannya untuk mencurinya. Ibu sang pemilik Rumah Makan itu memerhatikan gerak-gerik Yunus dari balik kaca. Terlihat Yunus melirik kanan-kiri dan saat itu terlihat sepi, Yunus pun menghampiri kotak itu. Ibu pemilik Rumah Makan itu berdiri dan siap berteriak jika Yunus benar mengambilnya. Yunus mulai membuka tas ranselnya. Namun bukan untuk memasukan kotak itu ke dalamnya, melainkan ia mengambil uang yang ada di dalam tas dan memasukan uang itu kedalam kotak amal itu. Masih ada banyak anak lain yang lebih menderita daripada aku. Begitu pikirnya. Dan Ibu pemilik Rumah Makan itu tersenyum lepas dan segera menghampiri Yunus.
“Dek? Ada yang bisa dibantu?” Tanya Ibu pemilik Rumah Makan yang mencoba mengejutkan.
“Hah! I, Iya…” Jawab Yunus agak terkejut.
Yunus pun menceritakan niatnya mengapa ia datang ketempat ini, dan saat itu juga Yunus langsung diterima bekerja di Rumah Makan itu di bagian pencucian piring. Beberapa jam kemudian, waktu menunjukan pukul 11.45 siang. Yunus meminta izin pulang sebentar untuk mengantar makanan untuk Ibunya dan makan siang bersama Ibunya di rumah. Dan ia akan kembali lagi setelah makan siang.
Dengan diam-diam Yunus menyangkutkan 2 bungkus nasi dalam plastik di gagang pintu rumahnya. Setelah itu Yunus pergi menuju toilet Masjid untuk mengganti pakaiannya lagi. Saat Yunus ke luar dari Toilet, tiba-tiba datang seorang Kakek berjenggot menghampiri Yunus.
“Nak, boleh tau nama kamu siapa?” Tanya sang Kakek.
“…” Yunus hanya diam kebingungan.
“Nak? Apa kamu mendengarku?” Tanya lagi sang Kakek.
“Ah. Iya, maaf… Namaku Yunus.” Jawab Yunus agak gugup.
“Oh, Nama yang bagus…”
Allahu Akbar, Allahu Akbar… Allahu Akbar, Allahu Akbar!
“Hm… Udah Adzan, ayo kita Shalat berjamaah di dalam.” Ajak sang Kakek.
“Ta, tapi…” Yunus nampak kebingungan.
“Wajah kamu menunjukan kalau kamu ada masalah, jadi… ayo kita Shalat berjamaah dan berdo’a bersama-sama kepada Allah.”
“… Iya.”
Yunus pun mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah di Masjid itu.
Beberapa menit kemudian ia pulang ke rumahnya dengan mata lebam yang di sebabkan menangis disaat Shalat dan berdo’a.
“Assalamu’alaikum… Bu, aku pulang.” Ucap Yunus.
Ibunya pun agak terkejut setelah anaknya mengucap salam.
“Wa’alaikumussalam… Ya…” Jawab Ibu Aisyah.
Saat Yunus memasuki rumah, ia tersenyum tulus ketika melihat Ibunda tercintanya sedang menyiapkan makanan dengan wajah ceria.
“Yunus, mata kamu… Kamu habis nangis ya? Ada yang nakalin kamu?” Tanya Ibu Aisyah dengan nada khawatir.
“Oh ini, nggak kok… Tadi aku abis Shalat berjamaah di Masjid.” Jawab Yunus agak malu-malu.
Ibu Aisyah pun terpukau terhadap Yunus, dan segera memeluknya.
“Alhamdulillah ya Allah… Do’a ku terkabul.” Ucap Ibu Aisyah dengan penuh syukur.
Apa ini? Perasaan apa ini? Rasa yang begitu nyaman ketika dipelukan Ibu. Begitu pikir Yunus.
“Ya udah, Ibu udah siapin makan tuh.” Ujar Ibu Aisyah.
“Ini Ibu yang beli?” Yunus pura-pura bertanya.
“Hm, tadi pas Ibu pulang ada bungkusan ini di gagang pintu depan. Dan ada tulisannya juga.”
“Tulisan? Tulisan apa?”
“Nih Ibu bacain, “Ini ada makanan untuk siang dan malam, besok Ayah akan kirim lagi makanannya. Dari Ayah.” Udah gitu doang, Ibu juga gak ngerti kenapa Ayah gak pulang aja… Kenapa juga harus dititipin ke orang.” Jelas Ibu Aisyah.
“Ya, mungkin aja Ayah lagi sibuk kerja. Jadi gak sempat pulang.”
“Hm, ya… Mungkin.”
“Ayo makan bu, aku udah lapar nih.”
“Oh, iya iya…”
Maafkan aku bu… Saat ini, aku akan banyak berbohong pada Ibu. Ya Allah, berikanlah Jalan terbaik untuk kami. Begitu pikir Yunus.
Seusai makan siang, Yunus pamit dengan Ibunya untuk pergi bermain, namun tidak dengan niatnya. Dan Yunus pun segera pergi ke Rumah Makan itu lagi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Keesokan harinya pun, Yunus melakukan hal yang sama seperti kemarin. Ia melakukan pekerjaan itu terus-menerus hingga satu minggu lebih. Dan kejadian yang tidak terpikirkan oleh Yunus pun tiba. Sang Guru Wali kelasnya Yunus datang kerumah Ibu Aisyah untuk menanyakan pada orangtuanya, mengapa Yunus tidak masuk sekolah selama satu minggu tanpa ada surat izin.
Saat mengetahui hal itu, wajah Ibu Aisyah memerah (marah). Dan akhirnya ia meminta maaf atas perlakuan Yunus selama ini.
Siang pun tiba, terlihat Yunus sedang memasuki rumahnya.
“Assalamu’alaikum… Bu, aku pulang.” Ucap Yunus.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Ibu Aisyah yang masih memendam marah.
“Bu, ada makan?”
“Tuh, di meja.”
“…” Yunus Nampak bingung.
Seusai Yunus menghabiskan makanannya. Ibu Aisyah yang sedang menjahit baju, mencoba menasihati Yunus.
“Apa Ayah dan Ibu pernah mengajarkan kamu untuk berbohong?” Tanya Ibu Aisyah dengan tangan yang masih sibuk menjahit.
“…Nggak sih, emang kenapa?”
“Ibu pikir, Ibu sudah mendidik kamu dengan benar… tapi nyatanya tidak.”
Yunus menghampiri dan duduk di samping kanan Ibunya.
“Ibu selalu baik, Ibu gak pernah salah dalam mendidik aku. Tapi emang akunya aja yang susah dididik.” Ujar Yunus.
“Ibu pikir, Ibu sudah mendidik kamu kejalan yang benar. Tapi nyatanya belum.”
“…”
“Ssshhhaaah…” Ibu Aisyah menarik napas panjang dan menghembuskannya.
“Tadi, Wali kelas kamu dating kesini. Ngapain aja kamu selama seminggu ini?”
“Ng…” Yunus nampak kebingungan.
“Ibu gak suka kebohongan Yunus. Rasulullah pernah bersabda, yang di Riwayatkan Bukhari dan Muslim. “Pertanda orang yang munafiq ada tiga: apabila berbicara bohong, apabila berjanji mengingkari janjinya dan apabila dipercaya berbuat khianat.” Jadi, ngomong aja yang jujur sama Ibu sekarang.”
“Aku, ng…”
Tiba-tiba Ibu Aisyah menaruh baju yang sedang di jahitnya disamping kirinya, dan segera memeluk Yunus dengan erat.
“Ibu selalu berusaha membesarkan, menjaga dan mendidik kamu dengan seluruh kemampuan Ibu. Kamu adalah suatu yang paling berharga bagi Ibu. Kalau diri kamu rusak, lalu apalagi yang Ibu punya?”
Kini Ibu Aisyah bicara dengan penuh harap, dan saat itu juga Yunus benar-benar merasakannya. Merasakan kasih sayangnya selama ini. Bagai datangnya cahaya yang menerangi ruang hati yang sudah lama gelap.
“Aku minta maaf bu, sudah seminggu ini aku bekerja di Rumah Makan yang ada di pasar sana. Aku gak kuat lihat Ibu menangis terus demi menghidupkan aku. Aku tau Ayah gak akan pulang lagi… Namun aku hanya ingin membuat Ibu senang. Mungkin dengan menaruh makanan secara diam-diam dari hasil keringatku sendiri, Ibu akan senang. Aku yang manaruh makanan selama satu minggu ini. Maafkan aku jika aku mengatas namakan Ayah. Aku hanya ingin membuat Ibu tersenyum terus sepanjang hari.” Jelas Yunus berkata dengan wajah yang dibasahi air mata, wajah yang penuh cinta terhadap Ibunya.
Ibu Aisyah pun terharu, tak kuasa menahan air mata ketika mendengarnya.
Hari itu pun berlalu. Yunus pun memohon kepada Ibu sang pemilik Rumah Makan, agar Ibunya juga diterima bekerja di tempat itu. Namun Ibu sang pemilik, menganjurkan Yunus agar tetap melanjutkan sekolahnya dan membiarakan Ibu Aisyah bekerja di tempat itu. Yunus dan Ibu Aisyah pun menyetujuinya.
Di lain sisi, Yunus berjanji akan membahagiakan Ibunya. Ia memperdalam ilmu Agama bersama Ibunya. Atas izin Allah Ta’ala, dengan kecerdikannya ia mampu menghafal kitab Al-Qur’an 30 Juz dalam waktu 10 bulan, berkat bantuan Ibunda tercintanya.
Dalam berjalannya waktu, ia mampu menjadi Da’i cilik yang mengharumkan nama Sekolah. Dan ia pun berhasil memenuhi janji kepada Ibunya. Apa janji itu? Ia mampu membuat Ibunya bangga atas kerja kerasnya.
Suatu malam Ibu Aisyah tertidur lelap terbawa mimpi. Dalam mimpinya ia sedang berdoa seusai Shalat Subuh, tiba-tiba ada suara yang membisik di kuping kanannya, “Terima kasih, kini kamu mampu mendidiknya dengan baik. Dan kini kamu berhasil.” Dan ia pun terbangun dari mimpinya. Ia amat senang, karena yang ia dengar dalam mimpinya itu adalah suara Bapak tercintanya. Ia pun merasa seperti menjadi seorang Ibu yang paling beruntung di dunia.
“Doa orang tua untuk anaknya bagaikan doa Nabi terhadap umatnya.”
(HR. Ad Dailami)
0 Comment: